Selain Suaka Rhino Sumatera (SRS) Way Kambas, Lampung, sebuah lokasi penangkaran badak lain berada di Sabah-Malaysia, bernama Borneo Rhino Sanctuary (BRS). Suaka ini merupakan rumah dari tiga individu badak sumatera, satu jantan bernama Tam dan dua betina, Puntung dan Iman. Badak sumatera di Kalimantan oleh para konservasionis telah dianggap sebagai subspesies yang terpisah, yaituDicerorhinus sumatrensis harrissoni.
Di awal tahun ini, Benoit Goossens, seorang konservasionis asal Sabah menganjurkan untuk mencampurkan dua subspesies ini. Dalam pernyataan sebelumnya, Gossens menyalahkan pihak Indonesia atas respon keterlambatan yang dilakukan.
“Indonesialah yang pegang kendali. Pihak Sabah telah mencoba hampir segala sesuatu untuk mengembangbiakkan tiga badak kami dengan badak sumatera asal Indonesia, [namun] Indonesia enggan melakukannya,” jelas Goossens, sembari menambahkan “pihak Indonesia akan membayar harga mahal, jika tetap berpikir mereka akan mampu menyelamatkan sekitar 100 badak yang tersisa di alam liar. Hal yang sama [kepunahan badak di alam liar] akan terjadi di Sumatera dalam 20-30 tahun ke depan.”
Tapi Direktur Eksekutif International Rhino Foundation (IRF), Sussie Ellis mengatakan situasinya tidaklah sesederhana itu.
“Menunjuk Indonesia untuk bertanggungjawab oleh pihak Malaysia sangat tidak masuk di akal,” jelasnya. Ellis mencatat bahwa negeri Sabah hampir tidak memiliki catatan baik terkait dengan konservasi badak selama ini.
Dalam pertemuan 2009, pihak Borneo Rhino Alliance (BORA) sebagai penanggungjawab BRS, memaparkan data bahwa Sabah adalah rumah bagi setidaknya 20-30 badak Sumatera. Tiga tahun kemudian data BORA turun menjadi 10-22 individu. Hanya setahun berselang, mereka menyebutkan hanya memiliki empat badak liar.
“Dan saat ini mereka nyatakan spesies ini telah punah di Sabah,” tutur Ellis.
Negeri yang jatuh dalam keputusasaan seperti halnya Sabah menyebabkan mereka mengambil sikap “berbeda pandangan tentang pendekatan yang pas untuk upaya penangkaran,” lanjut Ellis.
Dalam rencana aksi yang telah disusun, pihak Indonesia akan berfokus kepada upaya penangkaran alami (in situ), sementara pihak Malaysia menggantungkan pada teknologi fertilisasi in-vitro karena ketiga badak yang ada di BRS memiliki masalah kesuburan.
Hingga saat ini pihak BORA belum menghasilkan embrio yang layak, meski John Payne, Kepala BORA, pernah mengatakan kepada Mongabay bahwa pihaknya menargetkan satu kehamilan di akhir tahun ini. Meskipun pada akhirnya dia pun mengakui, “ini pekerjaan sulit.”
Namun Ellis tetap yakin strategi BORA ini pada akhirnya dapat berbuah, meski dia mewanti-wanti bahwa prosedur tersebut memiliki risiko tinggi selama anestesi (teknik pembiusan) dilakukan dan terus diulang sedangkan hasilnya mungkin tidak pernah terwujud karena faktor ketidaksuburan individu badak yang ada di penangkaran.
Jika badak Kalimantan yang tersisa tidak terhubung dengan keberadaan badak yang ada di Sumatera, dan teknik pemuliaan buatan tidak berhasil dilakukan, maka itu berarti garis genetik subspesies Kalimantan akan punah selamanya. Sebaliknya jika mereka diizinkan bercampur, setidaknya beberapa baris kode genetik sebagian dapat bertahan.
Hal ini pernah dilakukan, semisal bison eropa. Hari ini terdapat dua sub spesies bison eropa, yaitu bison dataran rendah dan dataran rendah lain yang dicampur dengan subspesies kaukasus. Meskipun subspesies kaukasus sekarang telah punah, namun materi genetiknya masih tetap bertahan hidup. Sebuah kemenangan pahit, namun lebih baik daripada tidak sama sekali.
Akhirnya, mungkin upaya menggabungkan dua subspesies badak bisa dibilang sebagai sebuah pilihan untuk mempertahankan keragaman genetik yang diperlukan dalam kasus hewan yang super langka ini.
Sebagai gambaran, subspesies badak sumatera ketiga yaitu Dicerorhinus sumatrensis-lasiotis yang dulu pernah menjelajahi daratan India, Bangladesh, Bhutan dan Myanmar telah diyakini oleh para konservasionis telah punah saat ini. Meski beberapa ahli konservasi masih terus berharap munculnya keajaiban, yaitu suatu ketika dapat menemukan populasi tersisa subspesies ini yang masih hidup di daerah terpencil di Myanmar.
Bagaimana dengan badak liar?
Upaya penangkaran badak hanyalah salah satu upaya, dan bisa dibilang bukan hal yang terpenting untuk menyelamatkan badak sumatera dari kepunahan. Di luar pagar listrik suaka yang ada di Way Kambas, sekitar seratusan badak sumatera masih hidup berkeliaran dan dikuatirkan terus berkurang di alam bebas Sumatera. Tidak seperti badak jawa yang terkumpul dalam satu area konservasi, maka badak ini terpencar dalam kelompok kecil dan habitat yang tidak saling terhubung.
Para Konservasionis percaya jumlah badak sumatera berada di sekitar angka 94-138 individu. Beberapa individu ditemukan di hutan Kalimantan Indonesia, dan sebagian besar ditemukan di tiga taman nasional di Sumatera, Bukit Barisan Selatan, Gunung Leuser dan Way Kambas (catatan editor: badak sumatera diyakini telah punah di kawasan TN Kerinci Seblat).
Sayangnya, tiga populasi ini telah terputus. Dari masing-masing populasi ini pun terbagi lagi menjadi sekitar 10 sub populasi dengan jumlah populasi antara dua hingga lima puluh individu di setiap wilayah. Inilah alasan mengapa badak sumatera akan lebih mudah menghilang satu demi satu.
“Apa yang kita ketahui dari pemodelan adalah populasi ini tidak bisa bertahan, apalagi dari perburuan jika kurang dari 40 individu. Jika individu tidak bertambah bagaimana mungkin mereka dapat bertahan hidup,” jelas Ellis. Dia pun menambahkan populasi terbesar badak tersisa berada di TN Way Kambas dan TN Gunung Leuser, sedangkan populasi di TN Bukit Barisan Selatan “berada di ambang yang tidak layak”.
Biasanya, solusi umum untuk populasi yang terputus seperti ini adalah dengan menciptakan koridor habitat alami untuk menggabungkan satwa agar dapat berkumpul. Tapi baik Ellis maupun Widodo Ramono dari YABI, sama-sama menyebutkan bahwa koridor bukan solusi dalam kasus ini.
Sumatera adalah salah satu pulau dengan tingkat deforestasi tertinggi di dunia. Diantara tahun 2000 dan 2012 pulau ini telah kehilangan 2,86 juta hektar kawasan hutannya, seperti diungkap oleh sebuah penelitian di jurnal Nature Climate Changetahun lalu.
Sumatera telah kehilangan 85 persen hutan alamnya hanya dalam waktu 50 tahun. Kerusakan sebagian besar disebabkan oleh perluasan perkebunan sawit dan hutan tanaman industri untuk bahan baku pulp. Situasi ini telah menyebabkan tidak saja badak, namun sebagian mamalia besar Sumatera termasuk harimau, gajah, orangutan dan owa terancam. Meskipun badak adalah spesies yang paling genting.
Dengan kondisi ini, hilangnya hutan, berkembangnya jaringan jalan, perkembangan wilayah perdesaan dan infrastruktur proyek lainnya, menjadikan pembuatan koridor adalah pilihan yang paling tidak memungkinkan untuk menghubungkan populasi badak yang terputus.
Melihat hal ini, para ahli badak dalam pertemuan di bulan Februari dan Mei tahun ini, datang dengan rencana alternatif. Mereka bermaksud untuk mengkonsolidasikan semua badak yang tersisa menjadi dua atau tiga populasi besar.
“Konsolidasi telah bekerja dengan baik di Afrika, India dan Nepal, untuk populasi badak hitam, badak putih serta badak bercula satu. Kami telah mendengar keahlian dan saran para pakar badak Afrika sebagai masukan,” jelas Ellis.
Ramono mengatakan bahwa “populasi yang tidak layak” akan diselamatkan ke daerah-daerah dimana konsolidasi populasi memungkinkan ‘badak untuk bertemu satu sama lain sehingga meningkatkan kemungkinan mereka untuk bereproduksi.’
Tapi untuk melaksanakan ide ini, para konservasionis perlu memperoleh informasi lebih lanjut tentang jumlah badak yang tersisa di alam, di mana mereka berada, dan jika mereka berkembang biak.
Meskipun memiliki ukuran tubuh yang besar dan kuat, badak sumatera terkenal sangat pemalu dan sulit dijumpai, bahkan oleh para ranger yang sudah mengenal perilaku dari satwa mega fauna ini. Ini menjadikan badak sumatera sulit untuk dihitung. Disisi lain, untuk melakukan survey menyeluruh dari tiga populasi tersebut, dibutuhkan dana yang tidak kecil.
“Kami memiliki kendala luar biasa untuk penggalangan dana. Dana diperlukan untuk melakukan survei tanah, kamera perangkap (camera trap) dan mengidentifikasikan DNA dari sampel tinja,” kata Ellis.
Di sisi terang, tim telah mengumpulkan bukti bahwa populasi badak liar di Sumatera masih berkembang biak, setidaknya di TN Way Kambas dan TN Bukit Barisan Selatan.
Pada pertemuan terakhir para pemangku kepentingan juga sepakat untuk meningkatkan jumlah penjaga badak untuk memastikan tidak ada seekor badak pun yang dibunuh oleh pemburu, meskipun diakui bahwa tim Rhino Protection Unit tidak akan mampu untuk memantau seratus persen laju dan aktivitas perburuan.
“Segi baiknya, kami belum menemukan bukti perburuan di tahun-tahun terakhir. Termasuk di lingkungan hutan hujan, dimana bangkai membusuk begitu cepat, hingga saat ini kami tidak menemukan badak yang mati oleh sebab alamiah,” jelas Ellis.
Penentuan
Setelah waktu sarapan paginya usai, Bina si badak SRS kembali ke dalam rimbunan hijaunya dedaunan. Di SRS Way Kambas, setiap badak memiliki wilayah berpagar seluas sekitar empat hektar. Bina pun beringsut menuju area kubangan, yang menurut dokter hewan Zulfi Arsan, setiap badak mampu menghabiskan empat hingga enam jam perhari dalam lubang lumpur. Badak melakukan ini karena panas hutan yang menyengat di tengah hari, banyaknya serangga dan mencari kenyamanan dari efek mengantuk yang ditimbulkan karena mencerna banyak makanan.
Suaka Rhino Sumatera menerima badak pertamanya pada tahun 1996. Dua puluh tahun dari saat itu, SRS memiliki mandat yang teramat sulit, yaitu tempat dunia menggantungkan harapan akan kelestarian badak dari kepunahan. Di sisi lain, SRS telah menjadi tempat bagi para ilmuwan dan konservasionis untuk mempelajari berbagai ‘perilaku dan biologi dasar’ yang hingga sekarang tidak banyak diketahui.
Dekade demi dekade telah dihabiskan oleh para konservasionis di SRS dan Kebun Binatang Cincinnati dalam melakukan penangkaran. Pengalaman telah mengajarkan bahwa upaya ini tidaklah mudah.
“Tantangan kami sekarang adalah untuk mengambil pengetahuan [dari pengalaman tersebut] dan menerapkannya, sehingga populasi SRS benar-benar dapat mendukung populasi badak di alam liar,” papar Ellis. “Kami punya bukti bahwa penangkaran dapat berhasil. Namun kami juga memerlukan dukungan sumberdaya yang besar dan dukungan politik dari pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelamatan spesies ini.”
Dalam hitungan waktu, mungkin dalam hitungan dasawarsa, tim berharap akan mampu melepaskan badak yang lahir di SRS untuk kembali ke alam liarnya, sehingga peningkatan populasi dan keragaman genetik badak sumatera dapat terus terjaga.
Konservasi adalah permainan waktu, khusus untuk badak mungkin perlu ekstra waktu lebih lama lagi. Penangkaran yang lambat dan keterancaman badak di alam liar telah menempatkan para konservasionis untuk mendedikasikan hidupnya dengan akhir cerita yang mereka tidak ketahui. Sebaliknya mereka harus selau hidup dalam iman dan pengharapan.
Kembali di penginapan kami, saya merenung tentang apa yang dilakukan oleh orang-orang konservasionis ini. Alih-alih patah arang, mereka tetap bekerja dengan tekad bulat. Dan mungkin, sangat mungkin, asa itu terwujud pada akhirnya. (Diterjemahkan oleh Ridzki R. Sigit).
Pengutip; Heri Pasiman, A.Md
Penulis Artikel; Jeremy Hance
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan guna evaluasi terhadap apa yang kami lakukan