“Ini dia perwakilan satu persen dari populasi dunia,” celetuk dokter hewan Zulfi Arsan sambil mengangguk ke arah Bina, seekor badak sumatera betina seberat 714 kg yang saat itu sedang makan batang daun dengan santai. Bina tampak tidak terusik dengan suara-suara yang ditimbulkan oleh manusia di sekelilingnya. Tampak acuh, Bina terus menyantap sarapan paginya di Suaka Rhino Sumatera (SRS) yang berada di Taman Nasional Way Kambas, Lampung.
Sebenarnya tidak ada yang tahu persis, apakah Bina merupakan satu dari seratus badak sumatera yang tertinggal di dunia. Namun fakta bahwa badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) mungkin merupakan badak yang paling terancam keberadaannya dari lima spesies badak lainnya di planet bumi ini adalah sebuah keniscayaan. Keberadaan SRS seluas 100 hektar ini lalu menjadi sangat spesial, karena pada tahun 2012, bayi badak jantan, yang dinamai Andatu lahir disini.
“Kami tidak bisa berhenti tersenyum hari itu,” tutur Susie Ellis, Direktur Eksekutif International Rhino Foundation (IRF). Organisasi tempat Ellis bekerja turut membantu penyediaan dana untuk SRS, termasuk saat persalinan berlangsung. “Itu adalah puncak karir, menghasilkan prestasi seperti itu, setelah banyak usaha yang telah dilakukan. Kami kadang-kadang mengatakan itu adalah kehamilan 15 tahun.”
Namun tiga tahun sejak Andatu lahir dan tumbuh menjadi badak jantan yang sehat, serangkaian berita buruk terus menghantui perkembangan satwa karismatik ini.
Pertama, pengumuman yang dirilis pada tahun 2013 yang merevisi jumlah populasi badak sumatera bukanlah 250 namun hanya 100 individu. Kemudian pada tahun 2014, seekor badak sumatera yang tertangkap di hutan Borneo Malaysia untuk program pembiakan teryata memiliki masalah dalam rahimnya. Awalnya para konservasionis menyangka badak betina ini hamil, hingga mereka menjumpai kenyataan bahwa rahimnya penuh dengan tumor, – sebuah masalah yang umum yang dijumpai pada badak betina yang tidak cukup sering kawin. Terakhir, adalah berita yang dilansir dari Kebun Binatang Cincinati yang menyebutkan koleksi badak betina mereka mati mendadak.
Namun berita terburuk datang di awal tahun ini, ketika Negara Bagian Sabah mengumumkan bahwa badak sumatera telah punah dari alam liar di negara bagian tersebut. Dengan demikian, efektif populasi subspesies borneo hanya tersisa tiga individu di suaka pembiakan dan satu atau dua sisanya yang masih tertinggal di wilayah Kalimantan Indonesia.
Dengan suramnya harapan bagi subspesies borneo, maka harapan bagi keberadaan badak sumatera praktis tinggal berada di Sumatera, dan terlebih tergantung kepada upaya tim yang ada di SRS.
Suaka Rhino Sumatera
Saat berjalan menuju lokasi seluas seratus hektar ini, perasaan sedang berada di dalam scene fim Jurassic Park tidak dapat saya elakkan. Truk yang kami tumpangi melewati lebat dan hijaunya rimbunan pepohonan hutan hujan dataran rendah Way Kambas. Pada setiap sisi jalan, pagar listrik yang tinggi dibangun, berfungsi untuk menjaga keamanan badak yang ada dalam suaka maupun sebaliknya menjauhkan orang yang ada di luar. Pada saat itu, jujur saya katakan, saya tidak akan terkejut jika sekonyong-konyong seekor triceratops berjalan terhuyung-huyung keluar dari rimbunnya vegetasi hutan alam.
Bayangan itu bukan berarti badak Sumatera mendekati usia evolusi dari dinosaurus. Menilik proses evolusinya, badak sumatera berbeda dengan spesies badak lain, badak ini diyakini terpisah sekitar 25 juta tahun yang lalu saat dimasa itu terdapat hampir 30 spesies badak yang berbeda genera di bumi. Badak sumatera, dari genus Dicerorhinus(badak bercula dua), adalah satu spesies yang masih bertahan dari asal keturunan kuno mereka. Beberapa ilmuwan meyakini badak Sumatera mungkin masih berkerabat dekat dengan badak wol yang telah hilang dari Eropa dan Asia.
“Badak sumatera, bersama dengan badak jawa, adalah dua spesies badak yang masih ada di bumi, yang hidup di hutan hujan tropis. Tubuh dan telinganya yang berbulu membuatnya unik di antara jenis badak,” jelas Ellis. Badak sumatera pun merupakan jenis badak terkecil di dunia.
Sebenarnya agak janggal untuk meresapi pernyataan di atas, saat saya melihat Bina, dari sisi manapun dia tidak tampak mungil. Bina sangat menginspirasi, bertubuh montok dengan rambut dan rona tubuh semburat berwarna merah muda. Bina adalah badak tertua di suaka. Oleh para konservasionis, dia diperkirakan berumur 30 tahun, usia lumayan tua jika menakar rata-rata usia badak sumatera di penangkaran adalah 35 tahun.
Berdiri sambil menjelaskan kepada saya, Zulfi Arsan, dokter hewan yang merawat Bina. Zulfi, pemuda tegap berjenggot ala hipster, menjelaskan meski sudah tidak teratur siklus menstruasinya, namun masih ada harapan Bina menghasilkan keturunan. Dokter hewan Zulfi, meski baru bekerja setahun di SRS, tapi dia membuat iri karena mampu menjelaskan banyak perihal badak seolah-olah mereka berteman dekat.
Meski secara teoritis Bina masih bisa memiliki bayi, namun tetap masih ada kesulitan yang muncul. Saat para staf mencoba mengawinkan Bina dengan Andalas, -badak jantan di suaka, maka Andalas berpotensi terluka saat Bina mulai berahi, -meski untuk saat ini agak sulit membayangkan Bina yang lembut dan sedang makan dengan damai di hadapan kami mampu bergumul dan berkelahi dengan pasangannya.
Menurut para ahli, bergumul merupakan hal wajar yang terjadi di alam liar saat badak mulai birahi, namun di suaka para ahli tidak mau menempatkan mereka dalam resiko terluka. Jadi untuk Bina, setidaknya mereka pun mencoba untuk melakukan inseminasi buatan. Sebuah pilihan yang belum berbuah hingga saat ini.
Widodo Ramono, seorang pakar badak sumatera dan Direktur Eksekutif Yayasan Badak Indonesia (YABI), menyebutkan “bahwa badak sumatera memiliki perilaku pembuahan yang unik.” Badak betina hanya mau kawin satu hari dalam siklus estrus mereka. “Hal ini turut membuat upaya penyelamatan badak sumatera menjadi amat unik dan menantang,” jelasnya lewat email.
Inilah yang membuat upaya pembiakan badak di tahun 1980-1990-an menjadi tampak sangat konyol. Para konservasionis saat itu memutuskan rencana penyelamatan spesies badak sumatera dengan cara menangkapi 40 individu dari alam, tanpa seorangpun saat itu yang benar-benar tahu bagaimana cara merawat badak atau mengerti siklus perkembangbiakan mereka.
Dari 40 individu yang ditangkap di alam liar itu, hanya satu pasangan yang akhirnya berhasil menghasilkan keturunan. Sisanya mati tanpa anak. Satu-satunya yang selamat dari kelompok saat ini hanyalah Bina, yang ditangkap pada tahun 1991. Sejak saat itu, para ilmuwan berlomba dengan waktu sejalan dengan umur biologis reproduksi Bina.
Video Bina berjalan di suaka. Pada 0:19 dia bersuara. Badak sumatera memiliki vokal yang keras. Video: Tiffany Roufs.
Program penangkapan badak sumatera di alam liar telah diakui oleh para konservasionis sebagai kegagalan total. Namun belajar dari penelitian dan pengamatan yang dilakukan, akhirnya pengetahun diperoleh saat tiga ekor anak badak lahir di Kebun Binatang Cincinnati, termasuk Andalas (ayah Andatu), dan pada akhirnya generasi Andatu yang lahir di SRS ini.
Namun dibutuhkan kesabaran bagi mereka yang telah bekerja keras untuk menyelamatkan spesies ini, meski penangkaran telah mulai berbuah. Untuk dipahami secara alami, badak berkembangbiak secara perlahan, bahkan lebih lambat dari manusia.
Usia kehamilan badak sumatera umumnya berlangsung 15-16 bulan. Setelah bayi lahir, dia harus tetap dekat dengan induknya untuk beberapa tahun seperti yang terjadi pada Andatu dan induknya, Ratu. Menurut dokter hewan Zulfi Arsan, para konservasionis harus menunggu empat-lima tahun setelah kelahiran bayi sebelum si induk betina akan kawin lagi.
Saat ini di SRS, Andalas memiliki tiga calon pasangan: Bina, Rosa, dan Ratu (ibu dari Andatu). Ratu, yang ditangkap pada tahun 2005, setelah mengembara ke kampung-kampung, terbukti cocok dengan Andalas. Meski itu butuh waktu. Pertama, karena Andalas yang menghabiskan enam tahun pertama hidupnya di Kebun Binatang Cincinnati harus terbiasa dengan rumah barunya di Sumatera. Dia harus belajar untuk tidak menjadi badak yang memilih-milih makanan (badak sumatera liar memakan lebih dari 200 spesies tanaman), mengembangkan antibodi baru agar cocok hidup di habitat hutan, dan mengatasi parasit, tutur Zulfi.
Rosa, badak terakhir yang dimasukkan ke SRS, adalah kasus yang lain lagi. Rosa ditangkap pada tahun 2003 setelah sering berjalan-jalan ke desa terdekat dan kerap bergaul dengan manusia. Dengan seringnya interaksi, Rosa menjadi tidak takut dengan manusia. Secara spontan dokter hewan Zulfi membuat gerakan tangan kesamping di depan keningnya yang menunjukkan secara psikologis Rosa kacau, ketika saya bertanya tentang perilaku Rosa.
“Dia lebih senang berada di sekitar orang, dan sangat takut badak lainnya,” jelas Zulfi.
Tim ini sekarang mencoba untuk membalikkan perilaku Rosa dengan menjaga orang menjauh dan perlahan-lahan memperkenalkannya ke Andalas sebagai calon pasangan. Zulfi mengistilahkannya sebagai “langkah yang sangat lambat, tapi amat perlu dilakukan.”
Sementara itu, Andalas adalah satu-satunya jantan sehat yang dapat berkembang biak di SRS saat ini. Namun sebenarnya dia bukanlah satu-satunya potensi badak sumatera jantan yang ada di dunia. Adiknya, yang bernama Harapan, masih berada di Kebun Binatang Cincinnati yang jaraknya ribuan mil dari SRS.
Pihak SRS pun memiliki rencana yang amat maju saat ini, yaitu, ‘bagaimana mentransfer Harapan ke SRS’. Menyitir apa yang dikatakan oleh Ramono “Harapan tidak akan memberikan kontribusi apa-apa bagi konservasi dunia, jika dia masih ada di Amerika Serikat.” (Diterjemahkan oleh: Ridzki R. Sigit.)
Pengutip; Heri Pasiman, A.Md
* Penulis Artikel; Jeremy Hance,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Kritik dan saran yang membangun sangat kami butuhkan guna evaluasi terhadap apa yang kami lakukan